Text
Pengembangan metoda molecularly imprinted polymer (mip) atrazin dan aplikasinya sebagai sensor potensiometrik
Molecular Imprinting adalah teknik untuk menghasilkan polimer yang
menyediakan rongga dengan bentuk ruang tertentu yang dihasilkan dengan cara
membuang template ketika polimer telah terbentuk. Rongga-rongga ini akan
mengenali target yang memiliki bentuk dan sifat fisika-kimia yang mirip atau
identik dengan molekul template yang digunakan. Dalam penelitian ini, beberapa
metoda yang disebut sebagai metoda I, II, dan III telah dilakukan untuk
menghasilkan polimer dengan kualitas yang baik namun dengan metoda yang
lebih sederhana (tanpa pengaliran nitrogen pada larutan pre-polimer) seperti yang
telah dilaporkan peneliti lain.
Di dalam metoda I, pada larutan bening yang dihasilkan dari proses pengadukan
template, monomer fungsional, cross-linker, dan inisiator yang disebut sebagai
larutan pre-polimer dialirkan gas nitrogen dan disinari dengan sinar UV selama 4
jam di dalam water bath 0ºC. Gas nitrogen ini dialirkan bertujuan untuk
membuang oksigen yang terdapat di atmosfir yang dapat mengganggu proses
polimerisasi, sedangkan sinar UV digunakan untuk membantu mempercepat
proses polimerisasi. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa metoda ini
menghasilkan polimer dengan karakteristik yang baik, namun membutuhkan
waktu terbentuknya polimer padat cukup lama, yaitu 14 hari. Untuk mengatasi
ini, MIP atrazin dibuat kembali dengan menggunakan metoda II.
Di dalam metoda II, pada larutan pre-polimer tidak dialirkan nitrogen namun
didinginkan di dalam freezer dengan suhu -5⁰C selama 1 jam sebelum disinari
UV selama 4 jam. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses pendinginan
dapat mengurangi interaksi antara oksigen dengan larutan pre-polimer.
Berdasarkan hasil karakterisasi pada polimer yang diperoleh, MIP atrazin
memiliki karakteristik (sifat sensing) yang baik. Kelemahan dari metoda ini sama
dengan metoda I, yaitu polimer terbentuk menjadi padatan bening membutuhkan
waktu yang cukup lama, yaitu 14 hari setelah proses polimerisasi.
Selanjutnya, MIP atrazin dibuat dengan cara mendinginkan larutan pre-polimer ke
dalam freezer pada suhu -5⁰C selama 60 menit dan pemanasan dengan cara
meletakkan gelas beaker berisi larutan pre-polimer ke dalam oven dengan suhu
ii
70⁰C (metoda III). Pemanasan ini dilakukan dengan variasi waktu 90, 120, 150,
dan 180 menit. Hal ini bertujuan untuk mencari waktu yang paling tepat untuk
menghasilkan polimer dengan karakteristik paling baik. Ketika pemanasan
dilakukan selama 180 menit, data hasil uji HPLC menunjukkan bahwa dengan
meningkatnya konsentrasi awal atrazin, jumlah atrazin yang terikat MIP bernilai
fluktuatif. Hasil ini mengindikasikan bahwa karakteristik dari sifat sensing MIP
atrazin dengan lama pemanasan ini menurun. Untuk itu, waktu pemanasan dipilih
90, 120, dan 150 menit saja. Dengan metoda III ini didapat dua keuntungan, yaitu
pertama polimer padat bening segera terbentuk setelah proses pemanasan selesai
dilakukan. Kedua, waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan polimer lebih
singkat (membutuhkan waktu kurang dari 4 jam).
Berdasarkan hasil karakterisasi dari ketiga metoda di atas, metoda III adalah
metoda yang paling baik di dalam proses pembuatan MIP atrazin. Karakterisasi
yang dilakukan di sini berupa High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
untuk melihat sifat sensingnya dan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk
melihat rongga yang dihasilkan setelah pembuangan template, setelah uji FTIR
untuk melihat komponen yang membentuk polimer dilakukan. Dari Scatchard
plot (data HPLC), ditemukan bahwa jumlah maksimum target yang terikat
polimer, Bmax adalah 7,44 mmol/g, 9,56 mmol/g, dan 9,87 mmol/g untuk masingmasing lama pemanasan 90, 120, dan 150 menit. Berdasarkan hasil ini, polimer
yang memiliki sifat sensing terbaik adalah yang dibuat dengan waktu pemanasan
150 menit. Hal ini diperkuat dengan hasil SEM bahwa polimer yang dibuat
dengan waktu pemanasan 150 menit memiliki rongga (pori) terbesar sesuai
ukuran partikel atrazin, yaitu 499 pori/13,73 µm2. Sedangkan polimer dengan
waktu pemanasan 90 dan 120 menit memiliki rongga sebanyak 299/13,73 µm2
dan 370/13,73 µm2 buah.
Rongga-rongga pada polimer yang diperoleh dari ketiga metoda dihasilkan
dengan cara pembuangan template yang sama, yaitu pencucian dengan pelarut
menggunakan metanol/asam asetat, metanol/aquabidest, dan metanol masingmasing 1 kali (pencucian tunggal). Dengan cara ini, atrazin yang tersisa di dalam
partikel polimer 3% dari sebelum proses pencucian.
Merujuk hasil di muka, peneliti selanjutnya melakukan optimasi pada proses
pembuangan template. Pembuangan template yang optimal diasumsikan akan
menghasilkan rongga-rongga yang berfungsi sebagai ruang untuk menerima target
yang memilki bentuk ruang dan sifat fisika-kimia yang mirip atau sama dengan
template yang digunakan lebih optimal pula. Pembuangan template dilakukan
dengan cara mencuci serbuk polimer menggunakan pelarut metanol/asam asetat
(1 kali), metanol/aquabidest (1kali) dan metanol sebanyak 3 kali (pencucian
berulang). Dengan cara ini, atrazin di dalam polimer tidak terdeteksi lagi.
Mengambil parameter terbaik dari ketiga metoda yang telah dilakukan, yaitu
metoda pendinginan (-5⁰C) selama 1 jam dan pemanasan dalam oven pada suhu
70⁰C selama 150 menit, optimasi ini dilakukan. Polimer yang dihasilkan dengan
metoda ini memiliki potensi yang tinggi untuk diterapkan sebagai bahan
aktif sensor. Jumlah rongga yang diperoleh pada MIP ini sebanyak
iii
780 buah/13,73 µm2. Dari Scatchard plot, didapatkan bahwa Bmax adalah
14,9 mmol/g untuk MIP dan 1,99 mmol/g untuk NIP (sebagai polimer kontrol).
Untuk melihat apakah MIP atrazin yang dihasilkan ini mampu mengenal
target/tamu dengan baik, maka penelitian dilanjutkan dengan menguji golongan
amina yang lain sebagai target. Golongan amina tersebut adalah ametrin dan
simazin. Material MIP yang dibuat dikatakan memiliki kemampuan mengenal
yang tinggi jika MIP atrazin ini mampu menangkap atau mengikat atrazin dengan
lebih baik dibanding ametrin maupun simazin. Hasil karakterisasi menunjukkan
bahwa MIP atrazin mampu mengenal simazin dan ametrin dengan baik, meskipun
tak sebaik MIP ini mengenal atrazin. Dari plot Scatchard diperoleh nilai Bmax
untuk atrazin, simazin, dan ametrin adalah 14,9 mmol/g; 12,1 mmol/g; dan
6,1 mmol/g.
Tahap akhir dalam penelitian ini adalah pengujian terhadap membran MIP yang
dihasilkan dengan metoda III untuk diaplikasikan sebagai elektroda kerja.
Membran MIP dibuat di atas wadah gelas pyrex dan stainless-steel dengan
diameter 3 mm dan 6 mm. Di dalam pengujian ini, potensial sel meningkat
dengan meningkatnya konsentrasi pada larutan uji. Dari kemiringan kurva E
terhadap logaritma konsentrasi (menggunakan persamaan Nernst) diperoleh dua
nilai slope (N) untuk semua pengujian. Dari hasil penelitian dapat dikatakan
bahwa sensor sensitif pada rentang konsentrasi target 0,33-0,55 mM. Sedangkan
pada rentang konsentrasi 0,01-0,22 mM potensial meningkat secara lambat.
Pada penelitian ini, pengukuran kembali dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan
setelah pengukuran pertama. Hasil menunjukkan bahwa nilai potensial yang
terukur masih berdekatan dengan nilai yang diperoleh sebelumnya. Ini
mengindikasikan bahwa sensor memiliki stabilitas yang cukup tinggi.
No copy data
No other version available