Text
TANAH AIRKU MELAYU: SEBUAH KUMPULAN PUISI
Di dalam karya sastra yang berpijak pada budaya Melayu, entah itu berbentuk puisi maupun prosa, tercakup kompleksitas tata nilai yang terejawantahkan melalui norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, atau gambaran dunia tertentu yang diandaikan. Dengan kata lain, sastra berusaha berbicara tentang tingkah laku manusia dan kebudayaan yang dihayati pengarangnya.rnSeperti terlihat dalam Tanah Airku Melayu; Sebuah Kumpulan Puisi karya Fakhrunnas MA Jabbar ini, manusia disorot sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk kebudayaan. Tak mengherankan jika sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa dan dalam suatu konteks sejarah. Kenyataan demikian akan tampak semakin penting jika karya sastra yang hadir dapat dinikmati oleh anggota masyarakat secara lebih meluas dan ekstensif.rnBagai untaian batu mulia seni rupa yang memukau, puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini membentangkan tumpukan lapis panorama yang kompleks dan kisah lanskap bersudut kebudayaan Melayu. Membacanya adalah memaknainya dalam-dalam sampai pada suatu tahap tertentu tidak mampu lagi membayangkan apa pun, kecuali laut, pohon, hutan, deru angin, dan suara orang-orang Melayu yang ada di perantauan.rnPandangan ini tidak berlebihan karena buku yang memuat himpunan puisi sebanyak seratus buah, yang sebelumnya pernah diterbitkan di pelbagai media massa dalam rentang waktu 1970-2008, ini memang sarat dengan keindahan. Bukan sekadar menawarkan tamasya kata-kata, tetapi juga membawa pembacanya untuk berkelana memahami filosofi masyarakat Melayu. Sebagian kecenderungan puisi-puisi Fakhrunnas dalam antologi ini memperlihatkan betapa tradisi lirik dalam puisi di Tanah Melayu modern masih bertahan dan berjalan, yang seakan menunjukkan bahwa bermain-main dalam puisi adalah sebentuk kebajikan tersendiri yang tetap menyegarkan.rnHal ini tidak aneh. Karena Melayu memang dikenal sebagai daerah selaksa pantun dan puisi. Bahkan, dapat dikatakan, puisi yang dihasilkan etnis Melayu diperkirakan jumlahnya lebih banyak daripada gabungan seluruh puisi yang ditulis etnis-etnis lain di Indonesia, karena kedudukan puisi dalam perkembangan budaya Melayu bukan sekadar menjadi bahasa ungkap, pepatah, atau syair lagu, tetapi juga simbol-simbol masyarakat Melayu. Itulah sebabnya, buku antologi puisi karya Fakhrunnas MA Jabbar ini bukan sekadar menyajikan keindahan alam Melayu Riau sebagai metafora dalam susunan kata-kata, tetapi juga menceritakan tentang perjalanan kebudayaan dan kerinduan kepada kampung halaman, sebagai cermin kehidupan masyarakat Melayu yang terjadi pada masa kekinian.rnProf. A. Teeuw (1994) pernah mengatakan bahwa puisi tak akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan. Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya. Oleh karena itu, meskipun objeknya sama, namun jika ditulis oleh penyair yang berbeda akan menghasilkan gaya ucap puisi yang berbeda pula. Dengan kata lain, membaca puisi sama halnya dengan membaca kehidupan pribadi pengarangnya, membaca pandangan hidupnya, membaca falsafah hidup yang dianutnya, atau bahkan membaca tanah kelahirannya. Membaca puisi-puisi dalam antologi ini setidaknya kita akan dihadapkan pada keadaan semacam itu.rnOleh karena itu, jika sastra dipercaya merupakan potret sosial yang mengusung ruh kebudayaan masyarakatnya, maka boleh jadi kumpulan puisi karya Fakhrunnas ini merepresentasikan kebalau kegelisahan masyarakat Melayu masa kini. Dalam menulis karya ini, Fakhrunnas seakan berada di tengah kehidupan yang tak dapat melepaskan diri dari tradisi, mitos-mitos masa lalu, dan cengkeraman sejarah puak Melayu di satu pihak, dan di pihak lain, ia juga menyadari kondisi masyarakat Melayu masa kini yang tak dapat menahan modernitas. Dengan demikian, kumpulan puisi ini juga seperti mewartakan sebuah potret masyarakat Melayu ketika tradisi masa lalu ditinggalkan setengah hati. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan masyarakat Melayu terhadap modernitas. Maka, sebagai sebuah potret kultural, karya Fakhrunnas ini sesungguhnya merupakan representasi terjadinya perubahan sosial sebagai konsekuensi adanya perkembangan zaman.
Inventory Code | Barcode | Call Number | Location | Status |
---|---|---|---|---|
1701001062 | B69554S | 811 Jab t 2015 | Central Library (CIRCULATION) | Available |
1701001063 | B69555S | 811 Jab t 2015 | Central Library (CIRCULATION) | Available but not for loan - Recorded |
No other version available